aku

aku

Selasa, 11 Oktober 2011

Krisis finansial AS dan Eropa serta Pengaruhnya Terhadap Indonesia

Krisis Lembaga Keuangan merupakan salah satu imbas penilaian yang berlebihan terhadap fenomena dominasi surat utang. Kebijakan perubahan suku bunga Bank Sentral yang tidak di imbangi dengan koordinasi komprehensif terhadap pengawasan penyaluran dana, terutama sektor non-produktif, misalnya properti, memiliki dampak yang luas terhadap stabilitas keuangan jangka panjang. Rendahnya penerapan prinsip kehati-hatian perbankan serta penerbitan Efek derivatif yang terlali liberal, tanpa didukung oleh pemberdayaan produktivitas sektor riil, juga memiliki kontribusi yang besar terhadap kerapuhan ekonomi suatu negara. hasil akhirnya adalah kredit macet.

Kemelut utang Eropa dan Amerika Serikat (AS) masih "menggoyang" perekonomian global. Krisis industri keuangan AS yang dipicu kebangkrutan investasi raksasa mengharuskan pemerintah AS melakukan bailout terhadap beberapa perusahaan keuangan demi meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Namun itu tetap tidak bisa mencegah rush. Penarikan dana besar-besaran terjadi hingga pemerintah harus mengakuisisi bank-bank besar bahkan mengubah status investment bank menjadi bank holding companies untuk keluar dari krisis.

Di masa krisis saat ini dibutuhkan komitmen dan kredibilitas pemerintah dalam pengelolaan utang negara. Eropa bergelut untuk menyelamatkan Yunani. Sementara, spekulasi politik AS membahayakan posisi utang di negara adidaya itu. Indonesia sendiri tidak akan imun dari dampak krisis global meski berfundamental perekonomian yang baik. Besaran risiko global saat ini bisa lebih besar daripada kondisi global tahun 2008-2009 dimana perekonomian dunia merosot hingga 0,5%.

Risiko gagal bayar mungkin bisa ditutupi dengan dana talangan. Namun sumber dana talangan bisa menimbulkan prahara keuangan baru. Sangat mungkin dengan adanya bailout maka rasio utang akan meningkat hingga 100%. Indonesia sendiri berharap krisis di AS bisa segera terselesaikan dan tidak banyak memengaruhi perekonomian Indonesia. Sekalipun berdampak, kita bisa mempersiapkan diri untuk mengantisipasi krisis. Ditambah lagi bila krisis di Eropa semakin parah, dampak krisis utang yang terjadi di AS dan Eropa dikhawatirkan meluas ke negara-negara emerging market melalui dua jalur yaitu melemahnya permintaan ekspor dari negara-negara maju dan terjadinya capital reversal.

Pada saat yang sama produsen komoditas juga dapat terpukul oleh jatuhnya harga komoditas dunia. Dengan keadaan tersebut, kemungkinan imbas yang terjadi di negara-negara emerging market Asia adalah melemahnya permintaan ekspor. Kekhawatiran bisa diminimalisir dengan adanya ruang untuk melakukan kebijakan dan stimulus fiskal. Capital inflow tetap akan ada pada negara-negara berkembang di Asia yang memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Antisipasi yang bisa dilakukan antara lain mendorong perkembangan ekonomi domestik, sehingga pergerakan ekonomi lebih cepat dan mampu mengompensasi perlambatan yang mungkin terjadi di sisi ekspor.

Salah satu indikator perkembangan perekonomian domestik di tengah krisis global adalah Harga Indeks Saham Gabungan dan nilai rupiah terhadap dolar AS yang dilaporkan menguat seiring fundamental ekonomi yang membaik. Realisasi pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kuartal kedua tahun 2011 mencapai 6,5% sesuai dengan proyeksi. Pertumbuhan PDB didukung oleh membaiknya kinerja investasi dan ekspor serta konsumsi pemerintah. Sumber-sumber pertumbuhan PDB kuartal kedua tahun 2011 adalah konsumsi masyarakat 4,6%, konsumsi pemerintah 4,5%, Pembentukan Modal Tetap Bruto 9,2%, ekspor 17,4%, dan impor 16%.

Dari sisi sektoral, pertumbuhan PDB kuartal kedua tahun 2011 didukung kinerja sektor pertanian, industri manufaktur, dan perdagangan masing-masing sebesar 24,3%, 15,4%, dan 13,9%. Adanya panen raya di bualn April-Mei dan subsektor perkebunan menyumbang peningkatan pertumbuhan sektor pertanian sebesar 3,9% lebih tinggi dibandingkan kuartal kedua tahun 2010 yang hanya sebesar 3,1%. Industri manufaktur meningkat cukup tinggi mencapai 6,1%, bandingkan dengan kuartal kedua tahun 2010 yang sebesar 4,5 persen. Peningkatan ini didukung oleh meningkatnya industri non-migas berupa industri makanan, minuman, tembakau, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki, serta industri logam dasar besi dan baja. Sedangkan dari sektor perdagangan tumbuh mencapai 9,6% dari subsektor hotel dan restoran. Tahun sebelumnya pertumbuhan hanya mencapai 9,1%.

Kewaspadaan terhadap krisis tetap dijaga dan Indonesia diharapkan tetap mampu tumbuh kuat dengan pencapaian pertumbuhan PDB sebesar 6,5%.


Referensi :

Majalah Media Keuangan Volume VI/No.49/Minggu IV Agustus-Minggu III September 2011 halaman 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar