aku

aku

Minggu, 04 Desember 2011

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Koperasi

Perkembangan Usaha Koperasi

Perkembangan usaha koperasi merupakan suatu ukuran untuk menjadikan badan usaha menjadi besar dan maju. Begitu juga dengan badan usaha koperasi yang mempunyai tujuan untuk memenuhi kesejahteraan anggota dan mengembangkan usahanya.

Didalam Undang-Undang RI No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian pasal 43 lapangan usaha koperasi ditetapkan sebagai berikut :

a. Usaha koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.

b. Kelebihan kemampuan pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota koperasi.

c. Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama disegala bidang kehidupan ekonomi rakyat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan usaha koperasi itu didasarkan pada peran aktif anggota didalam koperasi bukan hanya bertumpu kepada pengurus, serta perkembangan usaha koperasi juga dipengaruhi peranan pemerintah dan juga masyarakat baik sebagai anggota koperasi ataupun sebagai anggota masyarakat yang berada dalam ruang lingkup koperasi tersebut.

Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Usaha Koperasi

Sangat penting bagi koperasi untuk mengetahui dan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan usaha koperasi. Dan apabila koperasi dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya maka koperasi dapat membenahi diri untuk selalu meningkatkan kualitas dan kinerjanya dengan baik agar koperasi dapat selalu berkembang.

Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa secara lembaga koperasi belum memiliki kemampuan untuk menjalankan fungsi dan perananya secara efektif dalam menciptakan kemakmuran bersama seperti yang dicita-citakan oleh founding fathers negara ini. Hal ini memang memerlukan waktu yang panjang dan tekat serta komitmen penyelenggara negara.

Menurut Soedirman (2006 : 2), menyebutkan permasalahan yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan usaha koperasi yang meliputi faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal antara lain sebagai berikut :

a. Partisipasi Angggota,

Partisipasi merupakan faktor penting dalam mendukung keberhasilan atau perkembangan suatu organisasi. Melalui partisipasi segala aspek yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan direalisasikan.

Menyatakan bahwa partisipasi dikembangkan untuk menyatakan atau menunjukkan peran serta (keikutsertaan) seseorang atau kelompok orang dalam aktivitas tertentu, sedangkan partisipasi anggota dalam koperasi berarti mengikutsertakan anggota koperasi itu dalam kegiatan operasional dan pencapaian tujuan bersama.

(Hendar dan Kusnadi , 2005 : 91)

Dalam koperasi semua program manajemen harus memperoleh dukungan dari anggota. Untuk keperluan tersebut pihak manajemen memerlukan berbagai informasi yang berasal dari anggota. Anggota merupakan titik awal yang menentukan proses partisipasi berlangsung. Sebagai pemilik anggota koperasi menginginkan koperasi menjadi sumber yang mampu meningkatkan usaha individualnya. Sebagai pemilik anggota juga menginginkan koperasi mempunyai kemampuan dalam melayani kepentingannya melalui usaha-usaha yang dijalankan di koperasi. Tingkat partisipasi anggota pada koperasi-koperasi saat ini masih cukup banyak yang belum maksimal.

Banyaknya anggota koperasi yang belum memanfaatkan jasa pelayanan yang tersedia di koperasi. Hal ini menunjukkan kurang tumbuhnya rasa memiliki dari anggota sehingga mereka masih memanfaatkan jalur lain dalam memenuhi kebutuhannya. Banyak hal yang yang menjadi penyebab keadaan ini, mulai dari kurangnya keragaman pelayanan yang disediakan koperasi, mutu pelayanan, lokasi yang jauh dari domisili anggota sampai pada unsur rekreatif yang tidak diperoleh di koperasi mereka.

(Soedirman, 2006: 4)

Jadi dapat dijelaskan bahwa penting bagi anggota untuk berperan aktif pada setiap kegiatan yang dijalankan di koperasi, karena maju mundurnya koperasi ditentukan pada partisipasi anggota. Dan koperasi harus memberikan layanan yang memadai dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan, serta memberikan informasi, kontribusi permodalan, menentukan program-program yang harus dilaksanakan pihak manajemen dan mengawasi jalannya koperasi. Agar anggota lebih memilih koperasi dari pada badan usaha lainnya.

b. Solidaritas Antar Anggota Koperasi

Berkoperasi juga dimaknai sebagai upaya membangun ikatan solidaritas antar anggota, karena dengan ikatan ekonomi, ikatan solidaritas bisa dibangun secara lebih kongkrit. Ikatan solidaritas ini pada kenyataannya juga bisa dikembangkan untuk meraih tujuan gerakan yang lebih besar.

(Soedirman , 2006: 4)

Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya Solidaritas yang kuat antar anggota koperasi dapat menjadi suatu kekuatan didalam mencapai tujuan koperasi.

c. Pengurus Koperasi Yang Juga Tokoh Masyarakat

Pengurus koperasi yang juga tokoh dalam masyarakat sehingga rangkap jabatan ini menimbulkan fokus perhatian terhadap pengelolaan koperasi berkurang sehingga kurang menyadari adanya perubahan lingkungan.

(Sonny Sumarsono, 2003:124)

Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya rangkap jabatan yang dimiliki oleh pengurus koperasi menyebabkan kurang profesionalismenya pengurus dalam mengelola koperasi.

d. Skala Usaha

Skala usaha yang belum layak, karena kemampuan pemasaran yang masih terbatas pada beberapa jenis komoditi, dan belum terbinanya jaringan dan mata rantai pemasaran prduk koperasi secara terpadu menyebabkan koperasi sulit untuk berkembang.

(Sonny Sumarsono, 2003:124)

Dapat disimpulkan bahwa dengan skala usaha yang kecil yang dilaksanakan oleh koperasi menyebabkan koperasi sulit untuk berkembang.

e. Perkembangan Modal

Perkembangan modal dalam koperasi sangat mempengaruhi perkembangan usaha koperasi karena dengan modal yang cukup besar koperasi dapat mengembangkan usahanya yang lebih banyak lagi. menyatakan bahwa apabila koperasi ingin mengembangkan usahanya kepasar global maka koperasi membutuhkan modal yang banyak, karena di pasar global terdapat resiko bisnis yang cukup tinggi.

Bahwa kebanyakkan koperasi belum mampu menggalang pemupukan modal dari anggota koperasi sendiri selain dari iuran pokok dan iuran wajib anggota. Tidak jarang bahwa iuran wajib bulanan masih kurang lancar dilakukan. Penggalangan dana dari dana pribadi anggota yang disimpan di dalam bentuk simpanan sukarela masih sulit diharapkan. Hal ini tidak lain karena masih kurangnya keyakinan anggota bahwa dengan cara bersama-sama membesarkan modal koperasi justru anggota akan menikmati manfaat koperasi yang lebih besar.

(Soedirman ,2006 : 3)

Bawasannya koperasi adalah suatu badan usaha ekonomi yang berdiri karena kesamaan kepentingan ekonomi anggotanya dan berdasarkan prinsip selp-help. Kesamaan dapat muncul berdasarkan jenis usaha dan jenis kebutuhan. Dan jika koperasi benar-benar berdiri karena keinginan dan kepentingan serta kesamaan kebutuhan para anggota. Maka tidak terlalu sulit koperasi untuk mendapatkan modal dan mengembangkannya secara bertahap. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya pengetahuan, pemahaman dan kesadaran anggota, karena maju mundurnya koperasi sangat ditentukan oleh anggota.

f. Ketrampilan Manajerial

Menurut Soedirman (2006 : 3) bahwa hal ini sebenarnya saling berkaitan dengan kualitas sumber daya insani dan masih kurangnya pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh koperasi yang bersangkutan.

Bahwasannya ketrampilan manajerial di koperasi sangat penting karena organisasi yang baik adalah organisasi yang memiliki manajemen yang baik koperasi tidak akan berkembang tanpa fungsi pengaturan yang terarah. Dan dalam perencanaan program kerja koperasi harus mampu diterjemahkan oleh tim manajemen berdasarkan kesepakatan di dalam rapat anggota tahunan (RAT).

g. Jaringan Pasar

Jaringan pasar merupakan suatu tempat untuk mencari pangsa pasar yang lebih luas agar dapat memperoleh kentungan yang lebih besar. Bahwa Pelayanan koperasi umumnya terfokus pada internal koperasi yang belum terbentuk jaringan antar koperasi. Koperasi akan lebih berdaya saing jika koperasi mampu membentuk jaringan usaha. Melalui jaringan yang kuat, koperasi akan mampu berkiprah di pasar global dengan meningkatkan mutu pelayanan.

(Soedirman, 2006 : 3)

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa jaringan adalah suatu faktor pendukung yang mempunyai kekuatan yang menentukan dalam melaksanakan usaha ekonomi dan program lainnya. Karena dengan adanya jaringan yang kuat dalam suatu lembaga akan mampu bertahan dan berkembang dalam jangka panjang dan lebih mampu mengantisipasi goncangan yang mungkin terjadi dalam dunia usaha. Jadi koperasi harus selalu mengikuti perkembangan teknologi dan penguasaan informasi.

h. Jumlah dan Kualitas Sumber Daya Manusia Para Pengurus dan Manajer

Menyatakan bahwa jumlah dan kualitas sumber daya manusia para pengurus dan manajer., koperasi umumnya dikelola oleh tim manajemen dengan status pendidikan yang tidak begitu tinggi, sehingga kemampuan manajerialnya juga kurang memadai.Apalagi pelatihan esbagai media penambah wawasan dan kemampuan manajerialnya belum tersedia secara optimal

( Soedirman , 2006 : 3)

Jadi kualitas sumber daya koperasi merupakan suatu hal penting dalam perkembangan koperasi secara keseluruhan. Peningkatan manfaat ekonomi yang dirasakan anggota berawal dari meningkatnya pemahaman anggota terhadap hakekat dan manfaat koperasi bagi mereka.

i. Pemilikan dan Pemafaatan Perangkat Teknologi Produksi dan Informasi

Bahwa Pemilikan dan pemafaatan perangkat teknologi produksi dan informasi yang belum memadai. Pada umumnya koperasi masih belum memiliki akses terhadap alat-alat komunikasi modern seperti jaringan internet. Banyak koperasi yang masih menggunakan mesin ketik sebagai piranti manajemennya sehingga cukup lamban dalam memberikan berbagai pelayanan kepada anggota.

(Soedirman , 2006 : 4)

Jadi koperasi harus lebih tanggap dan lebih cepat dalam memperoleh informasi-informasi agar tidak tertinggal dengan badan usaha lain, karena untuk memenuhi keinginan anggotanya dan masyarakat koperasi harus selalu mengikuti perkembangan zaman.

j. Sistem manejemen

Sistem manejemen yang baik adalah faktor yang paling penting untuk suksesnya koperasi. Dalam menerapkan manejemen, pengurus mempunyai tanggung jawab untuk merumuskan kebijaksanaan, menyetujui tanggung jawab untuk merumuskan kebijaksanaan, menyetujui rencana dan program, melimpahkan wewenang kepada manajer. (Sonny Sumarsono, 2003:124)

Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan manejemen yang baik akan dapat membuat koperasi berkembang menjadi lebih baik.

k. Kinerja Pengurus

Pengurus dalam koperasi mempunyai kedudukan yang sangat menentukan bagi keberhasilan koperasi sebagai organisasi ekonomi yang berwatak sosial. Pengurus koperasi dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota. Oleh karena itu kinerja pengurus mempunyai kedudukan yang menentukan keberhasilan koperasi. ( Sonny Sumarsono, 2003:124)

Jadi dapat disimpulkan bahwa dengan pengurus yang memiliki kompetensi yang baik akan dapat membuat koperasi berkembang menjadi lebih baik.

2. Faktor eksternal, yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan perkembangan koperasi antara lain :

a. Komitmen pemerintah untuk menempatkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional.

Kesenjangan yang terjadi dalam struktur ekonomi nasional mencerminkan tidak proposionalnya kebijakan pemerintah di dalam mengembangkan para pelaku ekonomi secara nasional. Hal ini ditunjukkan dengan dikuasainya sebagian besar asset usaha nasional oleh sebagian kecil kelompok usaha besar. ( Soedirman , 2006 : 2)

Jadi dengan adanya kebijakan pemerintah disini koperasi masih dapat perhatian yang kecil. Sedangkan UKM ataupun koperasi memberikan omzet yang cukup besar dibanding dengan usaha swasta.

b. Sistem prasarana, pelayanan, pendidikan dan penyuluhan.

Pengetahuan anggota koperasi terhadap makna dan hakekat koperasi, manfaat koperasi, hak dan kewajiban anggota di dalam berkoperasi belum sepenuhnya dapat dikatakan baik. Pelatihan dan penyuluhan anggota untuk meningkatkan kualitas sumber daya insani anggota, meningkatkan kemampuan manajerial.

(Soedirman, 2006 : 2)

Dapat disimpulkan bahwa adanya kualitas dan ketrampilan yang dimiliki anggota koperasi itu sangat penting. Karena dengan meningkatkan ketrampilan dapat menghasilkan produk yang berdaya saing dan dapat memajukan koperasi. Sedangkan sekarang ini sebagian besar seorang anggota koperasi tidak mengetahui mengapa menjadi anggota koperasi. Dengan demikian memberikan pendidikan dan penyuluhan pada anggota sangat penting.

c. Iklim pendukung perkembangan koperasi

Menurut Sonny Sumarsono (2003:124) Suasana (iklim) untuk suburnya pertumbuhan koperasi tidak dapat datang begitu saja. Untuk itu pemerintah berusaha menciptakan suasana yang dapat mendorong pertumbuhan koperasi dengan cara mengadakan koordinasi-koordinasi. Dengan koordinasi-koordinasi tersebut dimaksudkan agar berbagai pihak yang ada sangkut pautnya dengan pertumbuhan koperasi dapat dihasilkan pandangannya.

d. Dicabutnya Fasilitas Tertentu Oleh Pemerintah

Menurut soedirman (2006 : 2) Koperasi berkembang mengikuti perkembangan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, sehingga seakan-akan koperasi adalah organisasi yang sekedar menjalankan program-program pemerintah. Berbagai peluang usaha koperasi harus diakui belum secara optimal dapat dimanfaatkan oleh koperasi. Bahkan organisasi DEKOPIN yang diharapkan menjadi corong koperasi yang memperjuangkan aspirasi koperasi dan melaksanakan berbagai pelatihan.

Dicabutnya fasilitas-fasilitas tertentu koperasi oleh pemerintah akibatnya koperasi tidak dapat lagi menjalankan usahanya dengan baik, misalnya usaha penyaluran pupuk yang pada waktu yang lalu disalurkan oleh koperasi melalui koperta sekarang tidak lagi sehingga koperasi terpaksa mencari sendiri ke Dolog.

e. Tingkat harga

Menurut Sonny Sumarsono (2003:124) Tingkat harga yang selalu berubah (naik) menyebabkan pendapatan penjualan sekarang tidak dapat dimanfaatkan untuk meneruskan usaha, justru menciutkan usaha.

Permasalahan diatas adalah merupakan faktor ancaman dan kelemahan koperasi baik internal dan eksternal. Berbagai kendala dan tantangan tersebut menyebabkan koperasi belum mampu berfungsi dan berperan sesuai harapan. Berbagai peraturan, kebijakan dan kesempatan atau peluang yang tersedia bagi koperasi belum dimanfaatkan oleh koperasi bagi kepentingan anggota dan masyarakat lingkungannya.

http://edukasi.kompasiana.com/2010/07/29/koperasi-indo/

Senin, 21 November 2011

Perbankan Syariah di Indonesia

I. Pengertian

Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum syariah (Islam). Bank syariah juga merupakan bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpun dana maupun penyaluran dana memberikan imbalan atas dasar prinsip syariah, yaitu bagi hasil dan jual beli. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misalnya usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dan lain-lain), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Keberadaan bank syariah menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu salah satu bentuk usaha bank adalah menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

II. Dasar Hukum

Perbankan Syariah/Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, Undang-Undang tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan perbankan syariah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip syariah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada Pasal 6 huruf (m) dan Pasal (e) tidak disebutkan Bank Syariah, akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil. Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pemberlakuan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan syariah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.

Secara umum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, posisi bank bagi hasil ataupun bank atas dasar prinsip syariah secara tegas telah diakui oleh undang-undang. Bank umum yang sejak awal kegiatannya berdasarkan prinsip syariah tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan secara konvensional. Demikian juga Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Dasar hukum atas perbankan syariah ini telah diperbaruhi kembali yaitu dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, dengan diberlakukannya undang-undang ini maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

III. Prinsip Perbankan Syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Prinsip utama operasional bank yang berdasarkan syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kegiatan operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan dalam Al-Quran dan Sunah Rasul Muhammad SAW. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai riba. Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem pemberian imbalan atau jasa dari dana.

Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, bank berdasarkan prinsip syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan imbalan atas dana yang digunakan atau dititipkan oleh suatu pihak bank. Penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, bunga adalah riba dan diharamkan. Ditinjau dari sisi pelayanan masyarakat dan pemasaran, adanya bank atas dasar prinsip syariah merupakan usaha untuk melayani dan mendayagunakan segmen pasar perbankan yang tidak setuju atau tidak menyukai sistem bunga. Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya. Beberapa prinsip/hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:

Ø Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

Ø Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.

Ø Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.

Ø Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.

Ø Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

IV. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional

Bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah atau prisip agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atau dasar kesetaraan dan keadilan. Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :

Parameter

Bank Syariah

Bank Konvensional

Landasan hukum

UU Perbankan dan Landasan Syariah

UU Perbankan

Return

Bagi hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee

Bunga, komisi/fee

Hubungan dengan nasabah

Kemitraan, Investor-investor, investor-pengusaha

Debitur-kreditur

Fungsi dan kegiatan bank

Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan

Intermediasi, jasa keuangan

Prinsip dasar operasi

Anti riba dan anti maysir

Tidak anti riba dan maysir

Prioritas pelayanan

1. Tidak bebas nilai (prinsip syariah Islam)

2. Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi

3. Bagi hasil, jual beli, sewa

1. Bebas nilai (prinsip materialis)

2. Uang sebagai komoditi

3. Bunga

Orientasi

Kepentingan publik

Kepentingan pribadi

Bentuk usaha

Tujuan sosial-ekonomi Islam, keuntungan

Keuntungan

Evaluasi nasabah

Bank komersial, bank pembangunan, bank universal, atau multi purpose

Bank komersial

Hubungan nasabah

Lebih hati-hati karena partisipasi dalam risiko

Kepastian pengembalian pokok dan bunga

Sumber likuiditas jangka pendek

Erat sebagai mitra usaha

Terbatas debitur-kreditur

Pinjaman yang diberikan

Terbatas

Pasar uang, bank sentral

Prinsip usaha

Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan nirlaba

Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba

Pengelolaan dana

Pasiva ke Aktiva

Aktiva ke Pasiva

Lembaga penyelesaian sengketa

Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah Nasional

Pengadilan, Arbitrase

Risiko Investasi

1. Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran

2. Tidak mungkin terjadi negative spread

1. Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank

2. Kemungkinan terjadi negative spread

Monitoring pembiayaan/Kredit

Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah

Terbatas pada administrasi

Struktur Organisasi Pengawas

Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Dewan Syariah Nasional

Dewan komisaris

Kriteria pembiayaan

Bankable, Halal

Bankable, Halal atau haram

Sumber: Veitzal Rifai

Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah sering menjadi bahan pertanyaan dan selalu dibandingkan dengan sistem bunga dalam perbankan konvensional. Perbandingan antara sistem bagi hasil dan sistem bunga dapat dijelaskan sebagai berikut :

No

Sistem Bagi Hasil

Sistem Bunga

1.

Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi

Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank

2.

Besarnya rasio (nisbah) bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh

Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan

3.

Tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

Tidak tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik

4.

Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil

Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam

5.

Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapat keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

V. Organisasi Perbankan Syariah

Menurut Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 dan Surat Keputusan Direktur Bank IndonesiaNomor 32/34/KEP/Dir Tahun 1999 tentang Perbankan Berdasarkan Prisnsip Syariah, dijelaskan bahwa kepengurusan perbankan syariah terdiri dari Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan Dewan Pengawasan Syariah.

Dewan Pengawas Syariah bersifat independen dan dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional. Dewan Pengawas Syariah ditempatkan pada bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengantugas yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional. Persyaratan anggota Dewan Pengawas Syariah diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional.

Direksi pada bank syariah minimal berjumlah tiga orang, dengan persyaratan berupa pengalaman dalam operasional bank minimal satu tahun sebagai pejabat eksekutif bank. Sesama anggota Direksi dan Komisaris dilarang memiliki hubungan sampai dengan derajat kedua, yaitu hubungan suami/istri, keponakan, menantu, ipar, dan besan.

Calon anggota Komisaris dan Direksi harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Persetujuan dari Bank Indonesia tersebut kemudian disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mendapat persetujuan. Laporan pengangkatan anggota dewan komisaris atau direksi harus disampaikan oleh direksi ke Bank Indonesia maksimal 10 hari setelah persetujuan dari RUPS atau rapat anggota sesuai dengan forum yang telah ditentukan, disertai dengan notulen umum pemegang saham atau notulen rapat anggota. Bentuk hukum perbankan dengan prinsip syariah adalah:

1. Persero Terbatas.

2. Koperasi.

3. Perusahaan Daerah.

Bank berdasarkan prinsip syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan izin Bank Indonesia, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia.

2. Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia dengan Warga Negara Asing (WNA) dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.

VI. Produk Perbankan Syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

A. Jasa untuk Peminjam Dana

Ø Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.

Ø Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.

Ø Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran sama dengan harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.

B. Jasa untuk Penyimpan Dana

Ø Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.

Ø Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

VII. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia telah dimulai sejak lama, yaitu sejak lembaga keuangan bukan bank hadir dengan konsep bagi hasil. Namun demikian, lembaga perbankan syariah secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan hadirnya perbankan syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.

Meskipun pangsa pasar perbankan syariah di industri perbankan nasional masih rendah, bisnis ini sangat menarik bagi para banker di Indonesia. Beberapa bank umum konvensional mulai membuka unit syariah, dimana bank-bank tersebut akan menambah kiprah perbankan syariah yang memang sejak awal telah beroperasi berdasarkan prinsip syariah atau hukum Islam.

Berdasarkan laporan perkembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2004, perkembangan lembaga perbankan yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah meningkat menjadi tiga buah bank umum syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia. Saat ini terdapat 13 Unit Usaha Syariah dari bank konvensional dengan jumlah keseluruhan sebanyak 355 kantor usaha, dan 88 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, ternyata mampu menunjukkan kinerja yang baik. Keunggulan ini terlihat pada saat krisis moneter di tahun 1997/1998, dimana sebagian besar perbankan konvensional mengalami kerugian akibat adanya negative spread. Hal ini lah yang menjadikan perbankan syariah mendapat kedudukan dan kepercayaan yang kuat di mayarakat Indonesia dan menjadi berkembang hingga saat ini.

Dalam kurun waktu 17 tahun total aset industri perbankan syariah telah meningkat sebesar 27 kali lipat dari Rp1,79 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp49,6 triliun pada akhir tahun 2008. Laju pertumbuhan aset secara impresif tercatat 46,3% per tahun (yoy, rata-rata pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir). Untuk periode 2007 sd 2008 yang lalu, pertumbuhan yang mencapai rata-rata 36,2% pertahun bahkan lebih tinggi daripada laju pertumbuhan aset perbankan syariah regional (asia tenggara) yang hanya berkisar 30% pertahun untuk periode yang sama.

Sejak diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai landasan legal formal yang secara khusus mengatur berbagai hal mengenai perbankan syariah di tanah air, maka kecepatan pertumbuhan industri ini diperkirakan akan melaju lebih kencang lagi. Hal ini terlihat dari indikator penyaluran pembiayaan yang mencapai rata-rata pertumbuhan sebesar 36,7% pertahun dan indikator penghimpunan dana dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 33,5% pertahun untuk tahun 2007 s.d. tahun 2008.

Secara kseseluruhan, profitabilitas perbankan syariah tercatat relatif cukup tinggi sebagaimana yang ditunjukkan oleh rata-rata pencapaian rasio Return on Equity (ROE) perbankan syariah yang mencapai 45,92% pertahun (periode tahun 2007 s.d. tahun 2008).

Semua gambaran di atas menunjukkan bahwa perbankan syariah di Indonesia merupakan industri keuangan yang berbasis sektor riil merupakan sektor usaha yang cukup menjanjikan bagi para investor, pengusaha dan masyarakat.

Prospek bank syariah di Indonesia dinilai akan semakin baik, karena terdapat kejelasan visi, misi dan sasaran perkembangan perbankan syariah nasional oleh otoritas perbankan di Indonesia.

Peta penyebaran bank berdasarkan prinsipn syariah di Indonesia dewasa ini masih terkonsentrasi di Pulau Jwa, terutama Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Bandung. Perkembangan bank syariah justru tidak terfokus di daerah potensial, yaitu masyarakat muslim Banda Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Timur. Pola pemilihan lokasi pendirian bank syariah saat ini terlihat masih berpegang pada pola pendirian bank konvensional, yaitu daerah pertumbuhan ekonomi dan sentra perdagangan seperti Jabodetabek dan Bandung.

Perkembangan perbankan syariah tidak terlepas dari dukungan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat umum. Pemerintah menunjukkan hubungan dengan adanya pengesahan atas keberadaan dan beroperasinya bank syariah di Indonesia. Sedangakan masyarakat, khususnya umat Islam, memajukan perbankan syariah melalui pemberdayaan dan pemanfaatkan lembaga perbankan syariah sebagai alternatif dalam aktivitas perekonomian.

VIII. Peran Strategis Perbankan Syariah

Keberadaan perbankan syariah tidak terlepas dari sebagian masyarakat yang menginginkan sistem perekonomian Islam dalam aktivitas keuangannya. Tujuannya adalah mencapai kesejahteraan atau taraf hidup yang memungkinkan masyarakat melaksanakan kaidah syariat Islam dengan cara yang lebih baik. Keragu-raguan yang umumnya dirasakan oleh umat Islam pada perbankan konvensional adalah imbalan jasa dengan sistem bunga bank, karena bunga berdasarkan prinsip Islam dan agama-agama wahyu sebelum Islam dinilai haram.

Semua aktivitas usaha yang berdasarkan sistem perekonomian Islam mempunyai karekteristik sebagai berikut:

1. Bersifat mandiri.

2. Sesuai dengan syariat Islam.

3. Produk yang dihasilkan dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat.

4. Berprinsip mencari keuntungan.

5. Menerapkan fungsi efisiensi dan manfaat dengan menjaga kelestarian lingkungan.

Dengan dikenalnya sistem perekonomian Islam tersebut, bank-bank syariah menjadi pilihan yang sangat menarik bagi sebagian mayarakat, khususnya umat Islam. Dampaknya dari itu menjadikan perkembangan perbankan yang bebas bunga menjadi sangat pesat, dimana perbankan syariah menggantikan sistem bunga dengan sistem bagi keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) yang saat ini lebih dikenal dengan bagi hasil (profit sharing). Berdasarkan sistem bagi hasil itu, nasabah penyimpan pada bank syariah memiliki posisi yang mirip dengan pemegang saham pada perusahaan PT, yaitu akan menerima bagian keuntungan (deviden) dan juga bagian kerugian.

Sumber :

1. Arthesa, Ade & Handiman, Edia. Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank, Indeks, Jakarta, 2009.

2. Triandaru, Sigit & Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lain Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2009.

3. Sawitri, Peni & Hartanto, Eko. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Gunadarma, Jakarta, 2007.

4. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6C1B0572-0593-4A20-B053-4D8F386267D0/17640/Perkembangan_Impresif_iB_Perbankan_Syariah.pdf

5. http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah

6. http://jufrism.wordpress.com/2008/02/19/aspek-hukum-kebijakan-pengembangan-produk-perbankan-syariah/