aku

aku

Senin, 21 November 2011

Perbankan Syariah di Indonesia

I. Pengertian

Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan hukum syariah (Islam). Bank syariah juga merupakan bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpun dana maupun penyaluran dana memberikan imbalan atas dasar prinsip syariah, yaitu bagi hasil dan jual beli. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misalnya usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dan lain-lain), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

Keberadaan bank syariah menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu salah satu bentuk usaha bank adalah menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

II. Dasar Hukum

Perbankan Syariah/Islam dalam sistem perbankan Indonesia secara formal telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun demikian, Undang-Undang tersebut belum memberi landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan perbankan syariah karena belum secara tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan prinsip syariah melainkan Bank Bagi Hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 belum mencakup secara tetap pengertian Bank Syariah yang memiliki cakupan lebih luas dari bagi hasil. Demikian pula dengan ketentuan operasional, hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha Bank Syariah. Pada Pasal 6 huruf (m) dan Pasal (e) tidak disebutkan Bank Syariah, akan tetapi hanya Bank Bagi Hasil. Kemudian peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

Pemberlakuan Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang diikuti dengan dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanan dalam bentuk Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia/Peraturan Bank Indonesia, telah memberi landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas lagi bagi pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perundang-undangan tersebut memberi kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan syariah antara lain melalui ijin pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, Bank Umum dimungkinkan untuk menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah.

Secara umum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, posisi bank bagi hasil ataupun bank atas dasar prinsip syariah secara tegas telah diakui oleh undang-undang. Bank umum yang sejak awal kegiatannya berdasarkan prinsip syariah tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha secara konvensional. Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah tidak diperkenankan melaksanakan kegiatan secara konvensional. Demikian juga Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.

Dasar hukum atas perbankan syariah ini telah diperbaruhi kembali yaitu dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, dengan diberlakukannya undang-undang ini maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.

III. Prinsip Perbankan Syariah

Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah. Prinsip utama operasional bank yang berdasarkan syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist. Kegiatan operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan dalam Al-Quran dan Sunah Rasul Muhammad SAW. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai riba. Perbedaan utama antara kegiatan bank berdasarkan prinsip syariah dengan bank konvensional pada dasarnya terletak pada sistem pemberian imbalan atau jasa dari dana.

Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, bank berdasarkan prinsip syariah tidak menggunakan sistem bunga dalam menentukan imbalan atas dana yang digunakan atau dititipkan oleh suatu pihak bank. Penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang disimpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil sesuai dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, bunga adalah riba dan diharamkan. Ditinjau dari sisi pelayanan masyarakat dan pemasaran, adanya bank atas dasar prinsip syariah merupakan usaha untuk melayani dan mendayagunakan segmen pasar perbankan yang tidak setuju atau tidak menyukai sistem bunga. Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya. Beberapa prinsip/hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:

Ø Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.

Ø Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.

Ø Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.

Ø Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.

Ø Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam Islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.

IV. Perbedaan Bank Syariah dengan Bank Konvensional

Bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah atau prisip agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atau dasar kesetaraan dan keadilan. Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :

Parameter

Bank Syariah

Bank Konvensional

Landasan hukum

UU Perbankan dan Landasan Syariah

UU Perbankan

Return

Bagi hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee

Bunga, komisi/fee

Hubungan dengan nasabah

Kemitraan, Investor-investor, investor-pengusaha

Debitur-kreditur

Fungsi dan kegiatan bank

Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan

Intermediasi, jasa keuangan

Prinsip dasar operasi

Anti riba dan anti maysir

Tidak anti riba dan maysir

Prioritas pelayanan

1. Tidak bebas nilai (prinsip syariah Islam)

2. Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi

3. Bagi hasil, jual beli, sewa

1. Bebas nilai (prinsip materialis)

2. Uang sebagai komoditi

3. Bunga

Orientasi

Kepentingan publik

Kepentingan pribadi

Bentuk usaha

Tujuan sosial-ekonomi Islam, keuntungan

Keuntungan

Evaluasi nasabah

Bank komersial, bank pembangunan, bank universal, atau multi purpose

Bank komersial

Hubungan nasabah

Lebih hati-hati karena partisipasi dalam risiko

Kepastian pengembalian pokok dan bunga

Sumber likuiditas jangka pendek

Erat sebagai mitra usaha

Terbatas debitur-kreditur

Pinjaman yang diberikan

Terbatas

Pasar uang, bank sentral

Prinsip usaha

Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan nirlaba

Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba

Pengelolaan dana

Pasiva ke Aktiva

Aktiva ke Pasiva

Lembaga penyelesaian sengketa

Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah Nasional

Pengadilan, Arbitrase

Risiko Investasi

1. Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran

2. Tidak mungkin terjadi negative spread

1. Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank

2. Kemungkinan terjadi negative spread

Monitoring pembiayaan/Kredit

Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah

Terbatas pada administrasi

Struktur Organisasi Pengawas

Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, Dewan Syariah Nasional

Dewan komisaris

Kriteria pembiayaan

Bankable, Halal

Bankable, Halal atau haram

Sumber: Veitzal Rifai

Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah sering menjadi bahan pertanyaan dan selalu dibandingkan dengan sistem bunga dalam perbankan konvensional. Perbandingan antara sistem bagi hasil dan sistem bunga dapat dijelaskan sebagai berikut :

No

Sistem Bagi Hasil

Sistem Bunga

1.

Penentuan besarnya resiko bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung dan rugi

Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank

2.

Besarnya rasio (nisbah) bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh

Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan

3.

Tergantung kepada kinerja usaha. Jumlah pembagian bagi hasil meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan

Tidak tergantung pada kinerja usaha. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat ganda saat keadaan ekonomi sedang baik

4.

Tidak ada agama yang meragukan keabsahan bagi hasil

Eksistensi bunga diragukan kehalalannya oleh semua agama termasuk agama Islam

5.

Bagi hasil tergantung kepada keuntungan proyek yang dijalankan. Jika proyek itu tidak mendapat keuntungan maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak

Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

V. Organisasi Perbankan Syariah

Menurut Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 dan Surat Keputusan Direktur Bank IndonesiaNomor 32/34/KEP/Dir Tahun 1999 tentang Perbankan Berdasarkan Prisnsip Syariah, dijelaskan bahwa kepengurusan perbankan syariah terdiri dari Dewan Komisaris, Dewan Direksi, dan Dewan Pengawasan Syariah.

Dewan Pengawas Syariah bersifat independen dan dibentuk oleh Dewan Syariah Nasional. Dewan Pengawas Syariah ditempatkan pada bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengantugas yang diatur oleh Dewan Syariah Nasional. Persyaratan anggota Dewan Pengawas Syariah diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional.

Direksi pada bank syariah minimal berjumlah tiga orang, dengan persyaratan berupa pengalaman dalam operasional bank minimal satu tahun sebagai pejabat eksekutif bank. Sesama anggota Direksi dan Komisaris dilarang memiliki hubungan sampai dengan derajat kedua, yaitu hubungan suami/istri, keponakan, menantu, ipar, dan besan.

Calon anggota Komisaris dan Direksi harus memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Persetujuan dari Bank Indonesia tersebut kemudian disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mendapat persetujuan. Laporan pengangkatan anggota dewan komisaris atau direksi harus disampaikan oleh direksi ke Bank Indonesia maksimal 10 hari setelah persetujuan dari RUPS atau rapat anggota sesuai dengan forum yang telah ditentukan, disertai dengan notulen umum pemegang saham atau notulen rapat anggota. Bentuk hukum perbankan dengan prinsip syariah adalah:

1. Persero Terbatas.

2. Koperasi.

3. Perusahaan Daerah.

Bank berdasarkan prinsip syariah hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan izin Bank Indonesia, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia.

2. Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia dengan Warga Negara Asing (WNA) dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.

VI. Produk Perbankan Syariah

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:

A. Jasa untuk Peminjam Dana

Ø Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.

Ø Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan.

Ø Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran sama dengan harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah.

B. Jasa untuk Penyimpan Dana

Ø Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah.

Ø Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.

VII. Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia telah dimulai sejak lama, yaitu sejak lembaga keuangan bukan bank hadir dengan konsep bagi hasil. Namun demikian, lembaga perbankan syariah secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan hadirnya perbankan syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.

Meskipun pangsa pasar perbankan syariah di industri perbankan nasional masih rendah, bisnis ini sangat menarik bagi para banker di Indonesia. Beberapa bank umum konvensional mulai membuka unit syariah, dimana bank-bank tersebut akan menambah kiprah perbankan syariah yang memang sejak awal telah beroperasi berdasarkan prinsip syariah atau hukum Islam.

Berdasarkan laporan perkembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2004, perkembangan lembaga perbankan yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah meningkat menjadi tiga buah bank umum syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Syariah Mega Indonesia. Saat ini terdapat 13 Unit Usaha Syariah dari bank konvensional dengan jumlah keseluruhan sebanyak 355 kantor usaha, dan 88 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS).

Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, ternyata mampu menunjukkan kinerja yang baik. Keunggulan ini terlihat pada saat krisis moneter di tahun 1997/1998, dimana sebagian besar perbankan konvensional mengalami kerugian akibat adanya negative spread. Hal ini lah yang menjadikan perbankan syariah mendapat kedudukan dan kepercayaan yang kuat di mayarakat Indonesia dan menjadi berkembang hingga saat ini.

Dalam kurun waktu 17 tahun total aset industri perbankan syariah telah meningkat sebesar 27 kali lipat dari Rp1,79 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp49,6 triliun pada akhir tahun 2008. Laju pertumbuhan aset secara impresif tercatat 46,3% per tahun (yoy, rata-rata pertumbuhan dalam 5 tahun terakhir). Untuk periode 2007 sd 2008 yang lalu, pertumbuhan yang mencapai rata-rata 36,2% pertahun bahkan lebih tinggi daripada laju pertumbuhan aset perbankan syariah regional (asia tenggara) yang hanya berkisar 30% pertahun untuk periode yang sama.

Sejak diterbitkannya Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagai landasan legal formal yang secara khusus mengatur berbagai hal mengenai perbankan syariah di tanah air, maka kecepatan pertumbuhan industri ini diperkirakan akan melaju lebih kencang lagi. Hal ini terlihat dari indikator penyaluran pembiayaan yang mencapai rata-rata pertumbuhan sebesar 36,7% pertahun dan indikator penghimpunan dana dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 33,5% pertahun untuk tahun 2007 s.d. tahun 2008.

Secara kseseluruhan, profitabilitas perbankan syariah tercatat relatif cukup tinggi sebagaimana yang ditunjukkan oleh rata-rata pencapaian rasio Return on Equity (ROE) perbankan syariah yang mencapai 45,92% pertahun (periode tahun 2007 s.d. tahun 2008).

Semua gambaran di atas menunjukkan bahwa perbankan syariah di Indonesia merupakan industri keuangan yang berbasis sektor riil merupakan sektor usaha yang cukup menjanjikan bagi para investor, pengusaha dan masyarakat.

Prospek bank syariah di Indonesia dinilai akan semakin baik, karena terdapat kejelasan visi, misi dan sasaran perkembangan perbankan syariah nasional oleh otoritas perbankan di Indonesia.

Peta penyebaran bank berdasarkan prinsipn syariah di Indonesia dewasa ini masih terkonsentrasi di Pulau Jwa, terutama Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Bandung. Perkembangan bank syariah justru tidak terfokus di daerah potensial, yaitu masyarakat muslim Banda Aceh, Sumatera Barat, dan Jawa Timur. Pola pemilihan lokasi pendirian bank syariah saat ini terlihat masih berpegang pada pola pendirian bank konvensional, yaitu daerah pertumbuhan ekonomi dan sentra perdagangan seperti Jabodetabek dan Bandung.

Perkembangan perbankan syariah tidak terlepas dari dukungan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat umum. Pemerintah menunjukkan hubungan dengan adanya pengesahan atas keberadaan dan beroperasinya bank syariah di Indonesia. Sedangakan masyarakat, khususnya umat Islam, memajukan perbankan syariah melalui pemberdayaan dan pemanfaatkan lembaga perbankan syariah sebagai alternatif dalam aktivitas perekonomian.

VIII. Peran Strategis Perbankan Syariah

Keberadaan perbankan syariah tidak terlepas dari sebagian masyarakat yang menginginkan sistem perekonomian Islam dalam aktivitas keuangannya. Tujuannya adalah mencapai kesejahteraan atau taraf hidup yang memungkinkan masyarakat melaksanakan kaidah syariat Islam dengan cara yang lebih baik. Keragu-raguan yang umumnya dirasakan oleh umat Islam pada perbankan konvensional adalah imbalan jasa dengan sistem bunga bank, karena bunga berdasarkan prinsip Islam dan agama-agama wahyu sebelum Islam dinilai haram.

Semua aktivitas usaha yang berdasarkan sistem perekonomian Islam mempunyai karekteristik sebagai berikut:

1. Bersifat mandiri.

2. Sesuai dengan syariat Islam.

3. Produk yang dihasilkan dapat memenuhi semua kebutuhan masyarakat.

4. Berprinsip mencari keuntungan.

5. Menerapkan fungsi efisiensi dan manfaat dengan menjaga kelestarian lingkungan.

Dengan dikenalnya sistem perekonomian Islam tersebut, bank-bank syariah menjadi pilihan yang sangat menarik bagi sebagian mayarakat, khususnya umat Islam. Dampaknya dari itu menjadikan perkembangan perbankan yang bebas bunga menjadi sangat pesat, dimana perbankan syariah menggantikan sistem bunga dengan sistem bagi keuntungan dan kerugian (profit and loss sharing) yang saat ini lebih dikenal dengan bagi hasil (profit sharing). Berdasarkan sistem bagi hasil itu, nasabah penyimpan pada bank syariah memiliki posisi yang mirip dengan pemegang saham pada perusahaan PT, yaitu akan menerima bagian keuntungan (deviden) dan juga bagian kerugian.

Sumber :

1. Arthesa, Ade & Handiman, Edia. Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank, Indeks, Jakarta, 2009.

2. Triandaru, Sigit & Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lain Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta, 2009.

3. Sawitri, Peni & Hartanto, Eko. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Gunadarma, Jakarta, 2007.

4. http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/6C1B0572-0593-4A20-B053-4D8F386267D0/17640/Perkembangan_Impresif_iB_Perbankan_Syariah.pdf

5. http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah

6. http://jufrism.wordpress.com/2008/02/19/aspek-hukum-kebijakan-pengembangan-produk-perbankan-syariah/

Konsep Koperasi Di Berbagai Negara

KONSEP KOPERASI

Munkner dari University of Marburg, Jerman Barat membedakan konsep koperasi menjadi dua, yaitu konsep koperasi barat dan konsep koperasi sosialis. Hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pada dasarnya, perkembangan konsep-konsep yang ada berasal dari Negara-negara barat dan Negara-negara berpaham sosialis, sedangkan konsep yang berkembang di negara dunia ketiga merupakan perpaduan dari kedua konsep tersebut.

KONSEP KOPERASI BARAT

Konsep koperasi barat menyatakan bahwa koperasi merupakan organisasi swasta, yang dibentuk secara sukarela oleh orang-orang yang mempunyai persamaan kepentingan, dengan maksud mengurusi kepentingan para anggotanya serta menciptakan keuntungan timbal balik bagi anggota koperasi maupun perusahaan koperasi. Persaamaan kepentingan tersebut bisa berasal dari perorangan atau kelompok. Kepentingan bersama suatu kelompok keluarga atau kelompok kerabat dapat diarahkan untuk membentuk atau masuk menjadi anggota koperasi.

Jika dinyatakan secara negatif, maka koperasi dalam pengertian tersebut dapat dikatakan sebagai “organisasi bagi egoisme kelompok”. Namun demikian, unsur egoistic ini diimbangi dengan unsur positif sebagai berikut:

v Keinginan individu dapat dipuaskan dengan cara bekerjasama antarsesama anggota, dengan saling membantu dan saling menguntungkan.

v Setiap individu dengan tujuan yang sama dapat berpartisipasi untuk mendapatkan keuntungan dan menanggung risiko bersama

v Hasil berupa surplus/keuntungan didistribusikan kepada anggota sesuai dengan metode yang telah disepakati.

v Keuntungan yang belum didistribusikan akan dimasukkan sebagai cadangan koperasi.

Dampak langsung kopersai terhadap anggotanya adalah:

v Promosi kegiatan ekonomi anggota.

v Pengembangan usaha perusahaan koperasi dalam hal investasi, foramsi permodalan, pengembangan sumber daya manusia (SDM), pengembangan keahlian untuk bertindak sebagai wirausahawan, dan kerja sama antar koperasi secara horizontal dan vertikal.

Dampak tidak langsung koperasi terhadap anggota hanya dapat dicapai, bila dampak langsungnya sudah diraih. Dampak koperasi secara tidak langsung adalah sebagai berikut :

v Pengembangan kondisi sosial ekonomi sejumlah produsen skala kecil maupun pelanggan.

v Mengembangkan inovasi pada perusahaan skala kecil, misalnya inovasi teknik dan metode produksi.

v Memberikan distribusi pendapatan yang lebih seimbang dengan pemberian harga yang wajar antara produsen dengan pelanggan, serta pemberian kesempatan yang sama pada koperasi dan perusahaan kecil.

KONSEP KOPERASI SOSIALIS

Konsep koperasi sosialis menyatakan bahwa koperasi direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah, dan dibentuk dengan tujuan merasionalkan produksi, untuk menunjang perencanaan nasional.

Sebagai alat pelaksana dari perencanaan yang ditetapkan secara sentral, maka koperasi merupakan bagian dari suatu tata administrasi yang menyeluruh, berfungsi sebagai badan yang turut menentukan kebijakan public, serta merupakan badan pengawasan dan pendidikan. Peran penting lain koperasi ialah sebagai wahana untuk mewujudkan kepemilikan kolektif sarana produksi dan untuk mencapai tujuan sosial politik. Menurut konsep ini, koperasi tidak berdiri sendiri tetapi merupakan subsistem dari sistem sosialisme untuk mencapai tujuan-tujuan sistem sosialis-komunis.

KONSEP KOPERASI NEGARA BERKEMBANG

Konsep koperasi di negara berkembang walaupun masih mengacu kepada kedua konsep tersebut namun koperasinya sudah berkembang dengan ciri tersendiri, yaitu dominasi campur tangan pemerintah dalam pembinaanya dan pengembangannya.

Perbedaan dengan Konsep Sosialis :

· Konsep Sosialis : tujuan koperasi untuk merasionalkan faktor produksi dari kepemilikan probadi ke pemilikan kolektif

· Konsep Negara Berkembang : tujuan koperasi adalah meningkatkan kondisi sosial ekonomi anggotanya.

LATAR BELAKANG TIMBULNYA ALIRAN KOPERASI

Perbedaan aliran dalam koperasi berkaitan erat dengan faktor ideology dan pandangan hidup (way of life) yang dianut oleh negara dan masyarakat yang bersangkutan. Secara garis besar, ideologi negara-negara di dunia ini dapat dikelompokkan menjadi 3.

v Liberalisme/Kapitalisme

v Sosialisme

v Tidak termasuk liberalisme maupun sosialisme

Implementasi dari masing-masing ideologi ini melahirkan sistem perekonomian yang berbeda-beda. Pada gilirannya, suatu sistem perekonomian tertentu akan saling menjiwai dengan koperasi sebagai subsistemnya. Misalnya, ideologi Pancasila dan sistem perekonomian yang temaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 akan mewarnai peran dan misi koperasi Indonesia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, aliran koperasi dalam suatu negara tidak dapat dipisahkan dari sistem perekonomian yang dianut oleh negara yang bersangkutan.

KETERKAITAN IDEOLOGI, SISTEM PEREKONOMIAN DAN ALIRAN KOPERASI

Perbedaan ideologi suatu bangsa akan mengakibatkan perbedaan sistem perekonomiannya dan tentunya aliran koperasi yang dianutpun akan berbeda. Sebaliknya, setiap sistem perekonomian suatu bangsa juga akan menjiwai ideologi bangsanya dan aliran koperasinya pun akan menjiwai sistem perekonomian dan ideologi bangsa tersebut. Hubungan masing-masing ideologi, sistem perekonomian dengan aliran koperasi dapat dilihat sebagai berikut :

Ideologi

Sistem Perekonomian

Aliran Koperasi

Liberalisme/Kapitalisme

Sistem Ekonomi Bebas/ Liberal

Yardstick

Komunisme/Sosialisme

Sistem Ekonomi Sosialis

Sosialis

Tidak termasuk Liberalisme dan sosialisme

Sistem Ekonomi Campuran

Persemakmuran (Commonwealth)

ALIRAN KOPERASI

Aliran koperasi yang dianut oleh berbagai negara di dunia dapat dikelompokkan berdasarkan peran gerakan koperasi dalam sistem perekonomian dan hubungannya dengan pemerintah. Paul Hubbert Casselman membaginya menjadi 3 aliran :

v Aliran Yardstick

v Aliran Sosialis

v Aliran Persemakmuran (Commonwealth)

Aliran Yardstick

Ø Dijumpai pada negara-negara yang berideologi kapitalis atau yang menganut perekonomian Liberal.

Ø Koperasi dapat menjadi kekuatan untuk mengimbangi, menetralisasikan dan mengoreksi berbagai keburukan yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme.

Ø Aliran organisasi koperasi kurang berperan penting dalam masyarakat, khususnya dalam sistem dan struktur perekonomiannya.

Ø Hubungan pemerintah dengan gerakan koperasi bersifat netral. Pemerintah tidak melakukan campur tangan terhadap jatuh bangunnya koperasi di tengah-tengah masyarakat.

Ø Pemerintah memperlakukan koperasi dengan swasta secara seimbang dalam pengembangan usaha. Jadi, maju tidaknya koperasi tetap terletak di tangan anggota koperasi sendiri

Ø Pengaruh aliran ini sangat kuat, terutama di negara-negara barat dimana industri berkembang dengan pesat di bawah sistem kapitalisme seperti Amerika Seriakat, Perancis, Swedia, Denmark, Jerman, Belanda, dan lain-lain.

Aliran Sosialis

Ø Koperasi dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, disamping itu menyatukan rakyat lebih mudah melalui organisasi koperasi.

Ø Koperasi sebagai alat sistem komunis. Koperasi dijadikan sebagai alat Pemerintah dalam menjalankan program-programnya.

Ø Pengaruh aliran ini banyak dijumpai di negara-negara Eropa Timur dan Rusia.

Aliran Persemakmuran (Commonwealth)

Koperasi sebagai alat yang efisien dan efektif dalam meningkatkan kualitas ekonomi masyarakat.
Koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat berkedudukan strategis dan memegang peranan utama dalam struktur perekonomian masyarakat.

Menurut aliran ini, organisasi ekonomi sistem kapitalis masih tetap dibiarkan berjalan, akan tetapi tidak menjadi soko guru perekonomian.

Koperasi berperan untuk mencapai kemakmuran masyarakat yang adil dan merata di mana koperasi memegang peranan yang utama dalam struktur perekonomian masyarakat.

Hubungan Pemerintah dengan gerakan koperasi bersifat “Kemitraan (partnership)”, dimana pemerintah bertanggung jawab dan berupaya agar iklim pertumbuhan koperasi tercipta dengan baik.

Perbedaan Aliran Koperasi

ALIRAN KOPERASI

PERANAN KOPERASI

HUBUNGAN

DENGAN PEMERINTAH

YARDSTICK

Koperasi berperan sebagai alat pendukur, penyeimbang, penetral, dan pengoreksi dampak negatif yang ditimbulkan oleh sistem ekonomi liberal (kapitalisme)

Hubungan gerakan koperasi dengan pemerintah bersifat netral, dimana pemerintah tidak campur tangan terhadap jatuh bangunnya organisasi koperasi di masyarakat

SOSIALIS

Koperasi sebagai alat dalam mencapai masyarakat yang sosialis yang bercorak kolektif

Koperasi merupakan alat pemerintah dan menjadi bawahan pemerintah. Dengan demikian, koperasi tidak mempunyai otonomi.

PERSEMAKMURAN

(COMMONWEALTH)

Koperasi berperan untuk mencapai kemakmuran masyarakat yang adil dan merata dimana koperasi memegang peranan yang utama dalam struktur perekonomian masyarakat

Hubungan koperasi dengan pemerintah bersifat kemitraan (partnership). Koperasi tetap mempunyai otonomi, dan pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk ikut mengembangkan koperasi di tengah-tengah masyarakat.

Sumber :

Sitio, Arifin & Tamba, Halomoan, Koperasi : Teori dan Praktik, Erlangga, Jakarta, 2001