aku

aku

Senin, 18 Oktober 2010

Melestarikan Warisan Leluhur

Melestarikan Warisan Leluhur

Ketetapan UNESCO terkait batik sebagai karya asli bangsa Indonesia pada 2 Oktober 2009 di Abu Dhabi makin mengukuhkan kekuatan bangsa Indonesia sebagai satu-satunya pewaris batik sebagai bagian budaya dunia. Menyusul ketetapan badan dunia yang membidangi masalah budaya tentang batik, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional. Namun, sebagaiman sejarah batik itu sendiri, banyak masyarakat Indonesia justru belum mengetahuinya.

Dari berbagai literatur sejarah disebut batik secara histories berasal dari zaman nenek moyang, dikenal sejak abad XVII, serta ditulis dan dilukis pada daun lontar. Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kesultanan Solo dan Yogyakarta.

Namun anggapan batik berkembang sejak kerajaan Majapahit disanggah Guru Besar Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM), Timbul Haryono. Menurutnya, teknik pengelolaan kain telah dikenal sejak sebelum pengaruh Hindu masuk Nusantara yaitu sekitar abad IV Masehi. Bukti-buktinya tertuang di sejumlah prasasti dan arca kuno. Sejumlah prasasti dari abad IX menyebutkan jenis-jenis kain yang diolah dilakukan dengan teknikmirip batik. Salah satunya adalah prasasti Balitung yang mengisahkan pesta di sebuah kerajaan. Setiap tamu mendapat hadiah kain yang disebut bebet. Deskripsi kain ini mirip dengan teknik yang sekarang disebut batik. Dari bukti-bukti ini menjelaskan bahwa batik adalah asli budaya Jawa.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Bahkan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Dalam buku karya Aep Hamidin berjudul Batik Warisan Asli Indonesia disebut bahan kain berasal dari kapas yang dinamakan kain mori. Dalam perkembangan selanjutnya, batik juga menggunakan bahan lain seperti sutra, polyster, rayon, dan bahan sintetis lain. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri, antara lain dari pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur. Menurut Yan Yan Sunarya, dosen Kriya Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) menyatakan proses membatik terdiri dari desain, pemalaman dengan menggunakan canting, cap atau kuas, pewarnaan dengan mencelup dan mencolet, penguatan warna, pengeringan, dan pelodon atau penghilangan malam.

Sementara itu, terkait perkembangan motif batik, pada abad XVII motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun, dalam sejarah perjalanannya, batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber, dan sebagainya. Selanjutnya, melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khazanah budaya bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisional dengan ciri kekhususannya sendiri. Di setiap daerah di Indonesia memiliki motif batik tersendiri. Bahkan di antara kabupaten yang ada di satu provinsi pun bisa memiliki motif berbeda.

Untuk motif batik Jawa Barat, memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan batik dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Gambarnya pun lebih banyak tentang flora fauna, sementara batik Jawa Tengah lebih menampilkan pengaruh Hindu, seperti tokoh-tokoh Ramayana.

Awalnya, batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja dan abdi dalem yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Dalam perkembangannya, lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya, untuk mengisi waktu senggang. Mereka menjadikan batik sebagai mata pencaharian. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke XVIII atau awal abad XIX. Batik yang dihasilkan semuanya batik tulis sampai abad ke-XX dan batik cap dikenal seusai perang dunia pertama atau sekitar 1920. Selanjutnya batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Diperlukan peran dari berbagai pihak untuk melestarikan kesenian batik ini, baik dari pemerintah itu sendiri, peran swasta maupun dari masyarakat Indonesia sendiri, karena batik merupakan industri rakyat yang melibatkan banyak rakyat kecil. Dengan tetap menggunakan batik berarti telah menghidupkan industri rakyat.

Sumber :

Koran Jakarta, Rabu 6 Oktober 2010 hal 17 (RONA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar